Pages

Selasa, 22 Desember 2015

Kajian Historis Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Nasional



A. Zaman Kerajaan Hindu-Budha.
Pendidikan pada zaman ini, selain diselenggarakan di dalam keluarga dan didalam kehidupan keseharian masyarakat, juga diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren. Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta dididik menjadi penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang berlaku saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan menulis (huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat atau membuat candi, dan bela diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya (perguruan), maka metode atau cara-cara pendidikannya pun adalah “Sistem Guru Kula”. Dalam sistem ini murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
    

       B. Zaman Kerajaan Islam
     Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan Islam diarahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah S.W.T., sehingga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui “iman, ilmu dan amal”. Pendidikan berisi tentang tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah S.W.T.), Al-Qur’an, hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis huruf Arab. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan dikelola oleh para ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikan bersifat otonom).
     Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi, tergantung dengan sifat materi pendidikan, tujuan, dan peserta didiknya. Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah atau tabligh (wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) biasanya dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar individual). Dalam metode sorogan walaupun para santri bersama-sama dalam satu ruangan, tetapi mereka belajar dan diajar oleh ustadz secara individual. Cara-cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para pandita Hindu-Budha, hanya saja isi ajarannya diganti dengan ajaran yang Islami. Demikian pula dalam sistem pesantren atau pondok asrama. Di langgar atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al-Qur’an dan materi pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di pesantren.

C. Zaman Pengaruh Portugis dan Spanyol.
     Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik. Demi kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di Ternate, selain itu didirikan pula di Solor. Kurikulum pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik, ditambah pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka. Pendidikan yang lebih tinggi diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Pada tahun 1546, di Ambon telah ada tujuh kampung yang penduduknya memeluk agama Nasrani Katolik.

D. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
     a. Pendidikan Zaman VOC
VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anak-anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar 50 orang, Timor 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
b. Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai kelanjutan dari zaman VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda pun mengecewakan bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1) Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini tidak terwujud.
2) Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat juga diabaikan.
3) Tahun 1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-undang Pengajaran yang dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut Protestan.
4) Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan Culturstelsel (Tanam Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda. Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana anggaran belanja negara sebesar f 25.000 tiap tahunnya untuk mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah (di tiap keresidenan). Namun sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang dicanangkan sejak 1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka pada tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta, dan menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anak-anak golongan priyayi.
5) Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada tgl. 10 September 1864. Demi kepentingan itu di Batavia didirikanlah semacam sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6) Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7) Tahun 1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8) Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata.
9) Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama, mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak sifat ke-Belanda-an pada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10) Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan bagi kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 dari jumlah penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%.
Ciri-ciri pendidikan. Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan priyayi; kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera; 2) Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda; 4) Menghambat gerakan nasional; dan 5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional (kemerdekaan).


    
          E. Zaman Pendudukan Jepang
     Landasan idiil pendidikan pada zaman Jepang disebut Hakko Ichiu, yaitu bangsa Indonesia bekerja sama dengan bangsa Jepang dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya . Oleh karena itu semua pelajar setiap hari harus mengucapkan sumpah setia pada kaisar Jepang dan membentuk Indonesia baru dalam rangka kemakmuran bersama Asia Raya.
     Hal-hal yang menguntungkan :
a.    Bahasa Indonesia berkembang secara luas, karena dijadikan bahsa pengantar di semua lembaga pendidikan.
b.    Buku-buku bahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena dalam suasana perang hak cipta internasional diabaikan.
c.    Seni bela diri dan perang dimiliki para pemuda Indonesia , ternyata berguna bagi perang kemerdekaan melawan Belanda.
d.    Sekolah-sekolah diseragamkan dan di negerikam, walaupun sekolah-sekolah swasta seperi Muhammadiyah, Taman Siswa, dan sekolah-sekolah Missi-Zending diijinkan terus berkembang tetapi dibawah pengaturan dan diselenggarakan sesuai dengan sekolah negeri.

          E. Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1945-1950 (dari Proklamasi sampai RIS)
     Tujuan pendidikan hanya digariskan oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam bentuk Keputusan Menteri, 1 Maret 1946, yaitu warga Negara sejati yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara. Sedangkan dasar pendidikan adalah Pancasila, seperti yang terumuskan dalam pembukaan UUD 1945 (Redja Muhardjo, 2002)

          F. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal)
  Tujuan pendidikan ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas azas-azas yang termaktub dalam Pancasila Undang-undang Dasar NKRI.

          G. Perkembangan Pendidikan Indonesia Merdeka Tahun 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
    Secara Formal, tujuan pendidikan Nasional Indonesia adalah sebagaimana dalam UU No. 12 Tahun 1954, yaitu manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah air.

    H. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka:Zaman Perkembangan Orde Baru.
1. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Tahun 1966-1969 (Zaman Awal Orde Baru atau Transisi)
2. Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Pada Masa Pembangunan Jangka Panjang I ( Tahun 1969/1970 – 1993/1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About