A. Zaman Kerajaan Hindu-Budha.
Pendidikan
pada zaman ini, selain diselenggarakan di dalam keluarga dan didalam kehidupan
keseharian masyarakat, juga diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang
disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren. Hal ini sebagaimana telah
berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya yang menjadi
pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para
empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana.
Tujuan
pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta dididik menjadi penganut agama
yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang berlaku
saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum pendidikannya
meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan menulis (huruf Palawa),
kesusasteraan, keterampilan memahat atau membuat candi, dan bela diri (ilmu
berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya (perguruan), maka metode
atau cara-cara pendidikannya pun adalah “Sistem Guru Kula”. Dalam sistem ini
murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan
sekaligus belajar kepada guru.
B. Zaman Kerajaan Islam
Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan Islam
diarahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah S.W.T., sehingga mencapai
keselamatan di dunia dan akhirat melalui “iman, ilmu dan amal”. Pendidikan
berisi tentang tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah S.W.T.), Al-Qur’an,
hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis huruf Arab. Pendidikan
pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan
dikelola oleh para ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut campur dalam
pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikan bersifat otonom).
Pendidikan dilakukan dengan metode yang
bervariasi, tergantung dengan sifat materi pendidikan, tujuan, dan peserta
didiknya. Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah atau tabligh
(wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama)
biasanya dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar
individual). Dalam metode sorogan walaupun para santri bersama-sama dalam satu
ruangan, tetapi mereka belajar dan diajar oleh ustadz secara individual.
Cara-cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu
dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para
pandita Hindu-Budha, hanya saja isi ajarannya diganti dengan ajaran yang
Islami. Demikian pula dalam sistem pesantren atau pondok asrama. Di langgar
atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji
Al-Qur’an dan materi pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi
pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di pesantren.
C. Zaman Pengaruh Portugis dan
Spanyol.
Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang
pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik. Demi
kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di
Ternate, selain itu didirikan pula di Solor. Kurikulum pendidikannya berisi
pendidikan agama Katolik, ditambah pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka. Pendidikan yang lebih
tinggi diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda
yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Pada tahun 1546, di Ambon telah
ada tujuh kampung yang penduduknya memeluk agama Nasrani Katolik.
D. Zaman Pemerintahan Kolonial
Belanda.
a. Pendidikan Zaman VOC
VOC
menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan
untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan
pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah
utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang
telah disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon
pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah,
sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum
pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum
pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya pun
tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anak-anak pegawai,
sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada
awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh
penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama
kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC
benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah
VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar 50
orang, Timor 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5
orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta,
1976).
b.
Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai
kelanjutan dari zaman VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda
pun mengecewakan bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama
ini antara lain:
1) Tahun
1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa
menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini tidak
terwujud.
2) Tahun
1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat
juga diabaikan.
3) Tahun
1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-undang Pengajaran
yang dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang
menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan
pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan
bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut Protestan.
4)
Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan
Culturstelsel (Tanam Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi
Belanda. Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai
rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk
menggunakan dana anggaran belanja negara sebesar f 25.000 tiap tahunnya untuk
mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga
kerja murah atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah
(di tiap keresidenan). Namun sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak
Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak
diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang
dicanangkan sejak 1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan mengenai
bahasa pengantarnya. Maka pada tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah
guru) pertama di Surakarta, dan menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini pun
hanyalah untuk anak-anak golongan priyayi.
5) Pada
tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima
bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan
syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada
tgl. 10 September 1864. Demi kepentingan itu di Batavia didirikanlah semacam
sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6) Tahun
1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7) Tahun
1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir
untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8) Tahun
1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah
Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan
rakyat jelata.
9)
Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van
Heutsz mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama,
mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen.
Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak sifat
ke-Belanda-an pada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah
menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg
School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang
didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi
mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10) Pada
tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan.
Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10
Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk
kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam
periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan
bagi kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 dari jumlah penduduk bangsa
Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%.
Ciri-ciri
pendidikan. Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya
partisipasi pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya
diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan
priyayi; kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau
pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman
kolonial Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk
bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera; 2)
Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan
menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi
efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama,
tetapi dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi
Putera yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi
pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda; 4) Menghambat
gerakan nasional; dan 5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan
nasional (kemerdekaan).
E. Zaman Pendudukan Jepang
Landasan idiil pendidikan pada zaman
Jepang disebut Hakko Ichiu, yaitu bangsa Indonesia bekerja sama dengan bangsa
Jepang dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya . Oleh karena itu
semua pelajar setiap hari harus mengucapkan sumpah setia pada kaisar Jepang dan
membentuk Indonesia baru dalam rangka kemakmuran bersama Asia Raya.
Hal-hal yang menguntungkan :
a.
Bahasa
Indonesia berkembang secara luas, karena dijadikan bahsa pengantar di semua
lembaga pendidikan.
b.
Buku-buku
bahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena dalam suasana
perang hak cipta internasional diabaikan.
c.
Seni
bela diri dan perang dimiliki para pemuda Indonesia , ternyata berguna bagi
perang kemerdekaan melawan Belanda.
d.
Sekolah-sekolah
diseragamkan dan di negerikam, walaupun sekolah-sekolah swasta seperi
Muhammadiyah, Taman Siswa, dan sekolah-sekolah Missi-Zending diijinkan terus
berkembang tetapi dibawah pengaturan dan diselenggarakan sesuai dengan sekolah
negeri.
E. Pendidikan Nasional
Indonesia Tahun 1945-1950 (dari Proklamasi sampai RIS)
Tujuan pendidikan hanya digariskan
oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam bentuk Keputusan
Menteri, 1 Maret 1946, yaitu warga Negara
sejati yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara. Sedangkan dasar
pendidikan adalah Pancasila, seperti yang terumuskan dalam pembukaan UUD 1945
(Redja Muhardjo, 2002)
F. Perkembangan Pendidikan
Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal)
Tujuan pendidikan ialah membentuk
manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pendidikan dan
pengajaran berdasarkan atas azas-azas yang termaktub dalam Pancasila
Undang-undang Dasar NKRI.
G. Perkembangan Pendidikan Indonesia
Merdeka Tahun 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)
Secara Formal, tujuan pendidikan
Nasional Indonesia adalah sebagaimana dalam UU No. 12 Tahun 1954, yaitu manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah air.
H.
Perkembangan Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka:Zaman Perkembangan Orde
Baru.
1. Perkembangan Pendidikan Nasional
Indonesia Tahun 1966-1969 (Zaman Awal Orde Baru atau Transisi)
2. Perkembangan Pendidikan Nasional
Indonesia Pada Masa Pembangunan Jangka Panjang I ( Tahun 1969/1970 – 1993/1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar